MAJALAH ICT – Jakarta. Mahkamah Agung (MA) telah menjatuhkan sanksi terhadap empat hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menangani perkara gugatan pailit PT Telkomsel. Keempat hakim, yaitu Agus Iskandar, Bagus Irawan, Noer Ali dan Sutoto Adiputro, dinilai telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan MA dan Komisi Yudisial. Meskipun para hakim tersebut merasa keputusan tersebut idak adil dan mereka menjadi korban dari Telkomsel, namun jika ditelaah, ada kejanggalan terhadap keputusan pailit Telkomsel dan kewajiban membayar kurator hingga ratusan milyar rupiah.
Kejanggalan pertama adalah pada keputusan pailit yang dijatuhkan ke Telkomsel di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pada 14 September 2012 lalu, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menjatuhkan putusan pailit terhadap Telkomsel. Perusahaan seluler terbesar di Indonesia ini dinyatakan terbukti tak dapat membayar utang sebesar Rp.5,3 miliar kepada PT Prima Jaya Informatika (PJI).
Keputusan pailit ini dikatakan telah memenuhi unsur-unsur kepailitan yang termaktub dalam pasal 2 ayat 2 UU Kepailitan. Padahal, UU Kepailitan dibentuk untuk menjawab persoalan akibat krisis ekonomi dimana banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utang, sehingga dipailitkan. Apalah Telkomsel dengan aset lebih dari Rp. 50 triliun tidak mampu membayar utang? Tentu dalam kasus bukan soal Telkomsel tidak mampu, tapi tidak mau karena utang yang diperdebatkan dengan PJI belum terjadi. Dan kalaupun menjadi putusan, harusnya diwajibkan saja Telkomsel membayar sesuai angka utang yang disebut PJI.
Kejanggalan lainnya, setelah pada 22 November 2012, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) atas gugatan pailit yang dimenangkan PT Prima Jaya Informatika di pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yang secara otomatis membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama (judex factie) yang memutuskan PT Telkomsel pailit, Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat kembali mengeluarkan Putusan bernomor 48/Pailit/2012/PN.Niaga JKT.PST jo No.704K/Pdt.Sus/2012 yang isinya menetapkan kewajiban Telkomsel untuk membayar fee kurator sebesar Rp 146,808 Miliar.
Angka tersebut berasal dari perhitungan 0,5% dikali total aset yang dimiliki Telkomsel sekitar Rp58,723 triliun, sehingga didapat Rp293.616.135.000. Angka ini kemudian dibagi menjadi dua, antara Telkomsel dengan Pemohon pailit yaitu Prima Jaya Informatika (PJI), sehingga masing-masing dibebani Rp146,808 miliar.
Tentu ini janggal. Ibarat kehilangan ayam, kemudian harus membayar sapi. Gara-gara utang Rp. 5,3 miliar, kemudian harus keluar Rp. 146,808 miliar. Kejanggalan terjadi karena Majelis Hakim yang memutuskan fee kurator ini adalah Majelis Hakim yang sama. Dan, sandaran hukum yang dipakai adalah sandaran hukum lama yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi karena keputusan Majelis Hakim keluar setelah terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 1/2013. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan Pengurus tidak berlaku lagi karena berpotensi memeras perusahaan- perusahaan besar.