MAJALAH ICT – Jakarta. Laporan PricewaterhouseCoopers (PwC) terbaru menyatakan bahwa saat ini terjadi penurunan transaksi keuangan melalui kantor cabang dan sebaliknya terjadi peningkatan tajam transaksi keuangan berbasis digital. Karena itu diprediksi bahwa perbankan akan banyak berinvestasi di bidang teknologi dalam 18 bulan ke depan.
PwC Indonesia Financial and Services Industry Leader David menyampaikan, pihaknya mencatat bahwa transaksi keuangan melalui kantor cabang terus menyusut dimana jika berdasar survei tahun 2015, sebanyak 75 persen bankir yang menjadi responden menyatakan lebih dari separuh transaksi keuangan di banknya terjadi melalui kantor cabang, di 2017 ini, transaksi tersebut tinggal 45 persen. “Terjadi pergerseran selama dua tahun terakhir,” katanya.
Sementara itu, lanjutnya, transaksi keuangan berbasis digital meningkat tajam. Jika pada 2015 ada 27 persen transaksi keuangan melalui telepon dan internet baru seperempat dari total transaksi keuangan di bank mereka, namun transaksi tersebut kini mencapai 48 persen.
Pergeseran minat nasabah terkait layanan keuangan sudah diprediksi para bankir. Menurut PwC, sebanyak 59 persen bankir global memperkirakan nasabah akan bermigrasi dari melakukan transaksi di kantor cabang menjadi melalui saluran digital. Dengan kondisi ini, sambungnya, teknologi keuangan berbasis digital (financial technology atau fintech) dianggap penting oleh sebagian besar pelaku pasar teknologi dan industri di Indonesia.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga mencatat bahwa investasi di bidang teknologi keuangan memiliki peluang yang sangat bagus di masa depan. Pada 2018, investasi fintech diproyeksikan menembus 8 miliar dolar AS atau setara Rp.105,6 triliun. ”Pada 2008, investasi di Fintech masih sekitar 900 juta dolar AS. Lalu, pada 2013 meningkat menjadi 3 miliar dolar AS. Nah, saya yakin, pasa 2018 mendatang bisa mencapai 8 miliar dolar AS,” ungkap Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani.
Rosan menambahkan, peranan fintech pada industri jasa keuangan global relatif cukup signifikan, terutama dalam menciptakan momentum pertumbuhan inklusi keuangan. Namun, ia berharap diperlukan sebuah ekosistem yang benar, mulai dari regulasi, masyarakat, pembiayaan, kultur, hingga environment agar industri ini dapat berkembang sesuai dengan harapan. “Itu menjadi sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan adanya sebuah kesatuan, saya yakin semuanya bisa bertumbuh, berkembang secara sehat. Memang, di Indonesia, fintech masih berada pada tahap awal, jadi kalau penyesuaian dari sisi regulasi adalah sesuatu yang normal,” ujarnya.
Perintah Jokowi
Presiden Joko Widodo saat perhelatan Indonesia Fintech Festival & Conference (IFFC) yang digelar pertengah tahun lalu pernah memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk melakukan langkah-langkah percepatan untuk memperluas jangkauan pelayanan perbankan dan lembaga keuangan formal dengan memperhatikan karakteristik geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Presiden juga telah membuat berbagai terobosan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, khususnya yang sebelumnya dikategorikan tidak layak menjadi layak, dari yang unbankable menjadi bankable dalam memperoleh layanan keuangan.
Manfaat atau kemampuan teknologi digital perlu juga dilihat sebagai sebuah kesempatan emas, terutama untuk menjangkau masyarakat yang selama ini belum terjangkau oleh jasa layanan keuangan formal.
Presiden Jokowi juga telah mengeluarkan peraturan yang mendukung keuangan inklusif, seperti peningkatan akses layanan jasa keuangan, terutama bagi UMKM serta perlindungan konsumen yang menjamin jaminan rasa aman.
Deloitte Consulting bekerja sama dengan Asosiasi Fintech Indonesia merilis hasil Survei Fintech Indonesia 2016. Dari hasil survei terungkap bahwa 61 persen startup fintech Indonesia menganggap regulasi Indonesia masih belum jelas dan lambat beradaptasi terhadap perkembangan fintech. Survei Fintech Indonesia 2016 ini dilakukan pada Juni-Agustus 2016 yang melibatkan 70 perusahaan fintech Indonesia.
Apa yang diperintahkan Jokowi dirasa cukup penting. Apalagi jika melihat hasil Survei Fintech Indonesia 2016 dimana ada empat poin penting terkait fintech, yaitu berkaitan dengan regulasi, kolaborasi, talenta, dan financial literacy dan financial inclusion. Penasihat untuk industri jasa keuangan Deloitte Consulting Erik Koenen mengemukakan, dari sisi regulasi ditemukan bahwa 61 persen responden menganggap adaptasi regulasi di Indonesia terhadap perkembangan fintech tergolong lambat dan berada di area abu-abu. Setidaknya, ada lima area dalam fintech yang dirasa responden memiliki kebutuhan paling tinggi untuk kejelasan regulasi. Lima area tersebut adalah Payment Gateway (60%), e-money/e-wallet (58%), mekanisme Know Your Client atau KYC (57%), P2P lending (57%) dan digital signature (54%).
Sementara dari sisi kolaborasi ditemukan bahwa 100% responden setuju kolaborasi merupakan poin penting dalam pengembangan bisnis fintech, baik itu dengan pemerintah dan institusi finansial atau dengan pelaku fintech lainnya. Ada 38% responden yang percaya bahwa peningkatan penerapan best practice adalah manfaat terbesar kolaborasi dan 25% lainnya percaya kolaborasi bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan data pasar.
Masalah kekurangan talenta juga tidak lepas dari sektor fintech, terutama kepada keahllian spesifik di bidang fintech itu sendiri. Erik menyampaikan ada banyak engineer dan developer di Indonesia, seharusnya tidak ada kekurangan bakat dari sudut pandang ini. Namun, menurutnya saat ini tidak ada banyak engineer atau sales person di Indonesia yang memahami teknologi di balik jasa keuangan.
Berdasarkan hasil survei ditemukan bahwa untuk perusahaan fintech yang berusia 0-2 tahun talenta di bidang data and analytics adalah permintaan tertinggi (83%). Perusahaan berusia 3 tahun butuh talenta di bidang back end programming (67%). Sedangkan perusahaan dengan usia 4 tahun ke atas kebutuhan talenta yang memahami risk management adalah yang paling dicari (90%).
Survei juga menemukenali bahwa perusahaan fintech Indonesia hingga saat ini kesulitan untuk memajukan inklusi keuangan karena rendahnya tingkat pendidikan keuangan. 36 persen reponden percaya bahwa collaborative training and communications effortsadalah cara terbaik untuk meningkatkan financial literacy dari konsumen yang dibidik.
Sekjen Asosiasi Fintech Indonesia Karaniya Dharmasaputra bahkan menyebutkan masalah tersebut tidak hanya terjadi di antara anggota masyarakat umum tetapi juga di antara pemain di industri keuangan konvensional. “Saat ini kita sedan berada di tengah era inovasi keuangan, terutama dengan pesatnya perkembangan teknologi. Melalui survei ini, kami ingin menyoroti bagaimana kolaborasi di antara pemain fintech dan regulator dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan-layanan keuangan, khususnya yang memanfaatkan teknologi,” katanya.