MAJALAH ICT – Jakarta. Sebuah laporan baru yang melihat bagaimana optimalisasi pada operasional TI dapat mendorong transformasi digital, laporan ini dipublikasikan oleh Dimension Data mengungkapkan bahwa staf operasional TI menggunakan lebih dari 30% waktu mereka untuk menangani permohonan layanan dan memberikan dukungan dalam mengatasi permasalahan TI, sementara 15% dari waktu mereka dialokasikan untuk inovasi.
Ini menunjukkan penurunan sebesar 25% dari tahun ke tahun padahal pemanfaatan dalam meningkatkan keterlibatan pelanggan, pengadopsian Internet of Things (IoT), dan mengambil kesempatan dari penggunaan big data dan data analytics sebagai inovasi TI saat ini adalah keharusan. Sehingga, perusahaan enterprise yang tidak merubah model bisnis TI akan hilang dari pasar.
CEO, Dimension Data Indonesia, Hendra Lesmana mengatakan bahwa laporan ini menggaris bawahi pentingnya otomatisasi untuk mengoptimalkan pengoperasian TI. “Organisasi yang memiliki strategi TI yang responsif terhadap pasar memahami bahwa jika mereka tidak fokus pada efisiensi hari ini maka mereka akan luput untuk mendapatkan pasar yang lebih besar di masa depan. Keahlian Dimension Data dalam otomatisasi dan orkestranya memberikan aktivitas proses dan bisnis yang lebih cepat. Client Dimension Data cukup membutuhkan jumlah sumber daya manusia yang efektif, dan fokus menggunakan waktunya agar tetap bisa kompetitif dengan membuat inovasi-inovasi baru yang tanggap terhadap kebutuhan client mereka dan mengeksploitasi data secara tepat guna untuk kebutuhan bisnis yang strategis,” katanya.
Dijelaskan, selama beberapa dekade belakangan, teknologi telah memberikan dampak efisiensi yang konsisten: dari pengoptimalan tenaga kerja, berkontribusi pada operasional yang lebih ramping, dan akhirnya memenuhi harapan pemegang saham. Namun, dengan tumbuhnya era digital, efisiensi saja tidak lagi cukup. Operasional TI harus dapat mendukung eksekusi dari inisiatif bisnis digital baru, dan menjamin ketersediaan infrastruktur TI sehingga memenuhi permintaan pelaku bisnis dengan cepat. Hal ini membutuhkan optimalisasi TI yang berkelanjutan sehingga dapat memenuhi tingkat layanan (SLAs) yang lebih baik, efisiensi yang lebih besar dan performa infrastruktur yang lebih tinggi dengan meminimalisasi resiko downtime. Namun membebaskan sumber daya manusia untuk fokus berinovasi masih merupakan sebuah tantangan.
Sementara organisasi mengetahui bahwa mereka harus merubah operasional TI mereka untuk lebih strategis dan taktis, kebanyakan tim TI internal dan pengembangan masih berjuang untuk bertahan. Bahkan, kebanyakan yang berpartisipasi dalam laporan ini mengatakan bahwa mereka masih memonitor dan menyesuaikan TI mereka secara terputus-putus, dengan hanya 14% melaporkan bahwa infrastruktur mereka sudah disiapkan untuk digitalisasi.
Berdasarkan laporan ini, hanya 20% dari organisasi mengatakan bahwa mereka sudah secara penuh melakukan otomatisasi dan optimalisasi pada infrastrukturnya, sementara mayoritas masih dalam perjalanan menuju otomatisasi, namun belum mencapai tujuan mereka.
Hendra mengatakan kenapa organisasi TI tertinggal kemungkinan karena anggaran, pengalaman dan keahlian. “Transformasi digital yang sukses membutuhkan kombinasi yang tepat antara sumber daya manusia, proses yang dijalankan dan perangkatnya. Namun, platform otomatisasi layanan TI yang membutuhkan investasi yang besar dan pengembangannya yang cukup lama akan tetap dibutuhkan dalam mensukseskan integrasi ke dalam lingkungan hybrid IT,” pungkasnya.