MAJALAH ICT – Jakarta. Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2022 merupakan momen pertama kalinya bagi KPI Pusat periode 2019-2022 untuk bertemu secara langsung dengan anggota KPI Daerah seluruh Indonesia. Setelah dua kali kesempatan dijalani dengan online, Rakornas 2022 yang digelar offline juga bertepatan dengan momentum migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital atau yang lebih dikenal dengan Analog Switch Off (ASO) pada 2 November 2022.
Usai pembukaan Rakornas yang dilakukan oleh Deputi VII Kementerian Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia Arif Mustofa, agenda Rakornas dilanjutkan dengan sarasehan yang mengangkat dinamika penyiaran kontemporer. Dipandu Maman Suherman, sarasehan diawali dengan pembahasan ASO. Ketua KPID Papua Rusni Abaidata menyampaikan permasalahan penyiaran digital di Papua. Dia mengatakan, sebelum 2 November 2022, KPID Papua menyelenggarakan diskusi bersama Pemerintah Daerah dan Lembaga Penyiaran yang mengungkap sulitnya distribusi Set Top Box (STB) di wilayah Papua I oleh lembaga penyiaran penyelenggara multiplekser. Salah satu kendalanya adalah kurangnya SDM untuk melakukan distribusi dan teknis pendataan penerima STB dengan infrastruktur daerah yang lebih menantang.
Secara konten, pelaksanaan digitalisasi penyiaran sebenarnya menjadikan keragaman konten sebagai sebuah kemestian. Ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Eris Munandar menyampaikan, jaminan kualitas memang merupakan tantangan tersendiri di era televisi digital. Terlebih semangat penting dari penyiaran digital adalah demokratisasi penyiaran yang salah satu unsurnya adalah keberagaman konten. “ASO sebagai starting point bangsa ini untuk beralih total dari analog ke digital,” ujarnya. Saya pikir, era digital ini bukan sekedar keniscayaan dan alih teknologi, tambah Eris. Tapi ada satu hal yang sangat dinantikan masyarakat, salah satunya keberagaman konten. Hal ini yang menjadi tantangan bagi televisi lokal dalam penyiaran digital ke depan. “Termasuk runtuhnya oligarki informasi,” tambah Kang Maman sebagai pemandu acara.
Sementara itu masukan lain disampaikan oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Santoso, yang hadir melalui sambungan video conference. ATVLI, ujar Santoso, mendukung migrasi penyiaran digital dan ASO yang memang merupakan sebuah keniscayaan. Tapi diantara masalah yang muncul dalam migrasi sistem penyiaran adalah keberadaan televisi lokal di daerah yang tidak mendapat perlindungan secara investasi dan hukum. “Salah satu kendala adalah biaya sewa multiplekser (mux),” ujar Santoso. Tahun lalu, TVRI mematok harga 14 juta, tahun ini 27 juta. Kemudian para pemegang multiplekse juga sudah mengedarkan surat pemberitahan adanya kenaikan harga sewa mux pada periode mendatang. “Bagaimana televisi lokal bisa hidup sedangkan pertumbuhan iklan saat ini juga harus bersaing dengan media baru,” ujar Santoso.
Dirinya juga menyinggung tentang amar putusan Mahkamah Agung terkait mux yang menetapkan tidak boleh ada sewa menyewa mux. “Di mux ini ada indikasi sewa menyewa frekuensi”, tegasnya. Dari segi investasi, televisi lokal sudah menjadi korban dalam pelaksanaan penyiaran digital. Jangan sampai menjadi korban juga dalam hal hukum terkait sewa menyewa mux. Menurut Santoso, hal ini sebenarnya bukan masalah bagi televisi lokal saja, tapi juga televisi besar yang tidak punya mux di daerah sehingga harus sewa dari yang lain.