MAJALAH ICT – Jakarta. Revisi Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Radio dan Orbit Satelit, yang dikeluhkan Telkomsel tidak diikutkan dalam pembahasan, dan dinilai Pengamat Hukum Telekomunikasi yang juga merupakan mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia Kamilov Sagala, mendapat tanggapan dari Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Menurut Chief RA, peraturan ini direvisi untuk menghindari terulangnya kasus yang menimpa Indosat dengan IM2 dalam kasus penyalahgunaan frekuensi 2.100 MHz untuk koneksi Internet 3G.
Dijelaskan Chief RA, ada dua substansi utama dalam revisi tersebut. Pertama, berkaitan dengan penyelenggaraan telekomunikasi. Kedua, mengenai frekuensi. "Nanti akan ditegaskan mengenai keduanya agar tidak ada lagi persepsi ataupun interpretasi yang berbeda tentang penggunaan frekuensi. Salah satu tujuannya, agar tidak ada lagi kasus seperti Indosat dan IM2," tandasnya.
Rudiantara sendiri mengaku bahwa dirinya dan beberapa menteri telah menandatangani revisi PP No. 53/2000. Kabarnya aturan itu telah sampai di meja Presiden Joko Widodo, tetapi Rudiantara belum memberi target pengesahannya.
Memang setelah ramai soal kampanye iklan negatif yang ditebar Indosat Ooredoo, dan tudingan bahwa Telkomsel berupaya menggagalkan revisi aturan tersebut, hubungan antara Indosat dan Telkomsel kian memanas. Pasalnya, Indosat sangat berkepentingan dalam revisi PP ini untuk bisa menggunakan frekuensi secara bersama dengan XL Axiata. Karena hanya menyangkut Indosat dan XL, nampaknya kemudian Telkomsel terlupakan dari berbagai diskusi.
Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah sendiri menampik tudingan bahwa Telkomsel berkeberatan terhadap konsep berbagi jaringan atau network sharing, namun Ririek agak keberatan bila itu harus dibuat aturan yang mewajibkan. Karena, katanya, aturan ini lebih pas diserahkan ke masing-masing kesepakatan perusahaan.
Sementara itu, Kamilov Sagala menilai ada potensi merugikan negara dari revisi PP No.53/2000 ini karena dapat mengurangi pemasukan pemerintah dari pos Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga trilyunan rupiah. Hal itu karena ada ketentuan yang diubah mengenai konsep berbagi jaringan atau network sharing.
"Dalam revisi itu ada wacana berbagi jaringan (network sharing). Jika mengacu Undang-undang No 36 tentang Telekomunikasi jelas tentang tata cara penyelenggaraan jaringan membutuhkan izin yang diatur dengan keputusan menteri. Kalau penggunaan frekuensi diserahkan pada business to business, (B2B), ada potensi kerugian," kata Kamilov yang merupakan Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala.
Dijelaskannya, pasal 30 dari PP No 53/2000 menyatakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi bagi penggunaan bersama pita frekuensi dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna. Nah, masalahnya muncul jika kemudian frekuensi ini digunakan bersama.
"Kalau network sharing ada operator A numpang ke B di suatu tempat dan sebaliknya di tempat lain. Blok frekuensi yang digunakan bisa menjadi milik A ditambah B, sehingga blok yang digunakan lebih besar, sementara biaya hak penggunaan (BHP) tetap," pungkasnya kepada Majalah ICT.