MAJALAH ICT – Jakarta. Meskipun Gugus Tugas (KPI, KPU, Bawaslu dan Dewan Pers) pengawasan dan pemantauan pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 telah ditandatangani saat Hari Pers Nasional (HPN) pada awal tahun ini. Hal itu tidak serta merta membuat peran pengawasan siaran di lembaga penyiaran oleh KPI menjadi maksimal. KPI masih menunggu peraturan lebih lanjut yang dibuat KPU dalam Peraturan KPU (PKPU).
Kondisi perlambatan ini membuat sejumlah pihak mengusulkan kepada KPI melakukan teroboson agar proses pengawasan siaran politik di media berjalan maksimal. Salah satunya dengan upaya Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar membuat Peraturan Bersama pengganti PKPU. Usulan ini dilontarkan Pembina Perludem, Titi Anggraini, dalam diskusi panel Bimbingan Teknis (Bimtek) Kepemiluan KPI Pusat di Cisarua, Bogor.
Dia menjelaskan, dalam UU No.7 tahun 2017 diatur bahwa pengawasan penyiaran kampanye dan pengawasan penyiaran Pemilu di lembaga penyiaran dilakukan KPI. Tetapi kemudian ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan KPU. “Semestinya serupa dengan hukum Pemilu terpadu atau sentra pengaduan dimana ada keterlibatan Bawaslu, polisi dan jaksa maka pengaturanya dilakukan dalam peraturan bersama,” urai Titi Anggraini.
Gambaran tersebut, menurut Pengajar Hukum Pemilu Studi HTN Fakultas Hukum (FH), Universitas Indonesia (UI) ini, bisa berlaku bagi pengawasan penyiaran dan kampanye di lembaga penyiaran oleh KPI dan Dewan Pers dan juga oleh KPU. Jadi, otoritas pengaturan tidak hanya diberikan sepihak kepada KPU.
“Karena ada keterlibatan KPI dan Dewan Pers maka pengaturan soal pemberitaan penyiaran dan iklan kampanye juga harus diatur bersama oleh KPU, KPI, dan juga Dewan Pers. Seperti halnya gakundu atau penegakan hukum terpadu juga diatur dalam perauran bersama antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Dengan demikian, akan tercipta koherensi atau pengaturan yang harmonis tidak menegasikan satu sama lain,” tambah Titi.
Adapun yang terjadi sekarang, lanjut Titi, posisi KPI dan Dewan Pers ketika ingin melakukan pengawasan secara optimal akhirnya tersendara menunggu seperti apa pengaturan yang akan dilakukan oleh KPU. Padahal, lembaga yang diberikan otoritas pengawasan itu seharusnya mengatur bersama sehingga output pengawasan itu terhubung dengan pengaturan yang dibuat.
“Jadi bagi saya kesetaran kewenangan dan juga optmalisasi mewujudkan asas Pemilu yang jujur dan adil sebagaimana diperintahkan pasal 22 E UUD (Undang-Undang Dasar) kita, maka pengaturan pemberitaan penyiaran dan iklan kampanye mestinya tidak hanya oleh KPU, tapi juga melibatkan lembaga yang diberikan kewenangan pengawasan dalam hal ini KPI dan juga dewan Pers,” tandasnya.
Menyikapi usulan tersebut, Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, menyatakan akan menjadikannya sebagai masukan. “Kami mendengarkan usulan itu dan akan membahasnya dengan komisioner lain. Jadi, lihat nanti seperti apa tindakan yang akan kami lakukan. Juga nanti saya sampaikan dulu ke gugus tugas,” tegasnya.
Tidak perlu ragu
Molornya penetapan aturan kepemiluan oleh KPU semestinya tidak mengurangi optimalisasi pengawasan penyiaran Pemilu di lembaga penyiaran. Menurut Prof. Judhariksawan, KPI tetap dapat melakukan pengawasan secara maksimal tanpa harus menunggu lahirnya aturan (PKPU) baru. “Jika berlandaskan asas lex posterior derogate legi priori, jadi selama belum ada hukum baru maka hukum lama yang berlaku,” katanya di tempat yang sama.
Bahkan, jika menilik UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, KPI tidak perlu ragu menjalankan kewenangan pengawasan terhadap siaran Pemilu. Terdapat sejumlah pasal yang menyokong kerja pengawasan KPI antara lain di Pasal 36 ayat 4 dan 5, Pasal 46 ayat 4, 8 dan 10.
“Bahwa di dalam Pasal 36 ayat 4 disebutkan isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Juga iklan (termasuk iklan politik) materinya siarannya yang akan disiarkan wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI,” jelas Prof. Judhariksawan.
Kemudian, kewenangan tersebut juga dikuatkan dalam P3SPS KPI tahun 2012 di Pasal 71 (SPS) yakni program siaran wajib menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan Pemilu dan Pemilukada. Program siaran wajib juga wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta Pemilu dan Pemilukada dan program siaran dilarang memihak salah satu peserta Pemilu dan Pemilukada.
“Dalam ayat berikutnya disebutkan bahwa program siaran juga dilarang dibiayai atau disponsori oleh peserta Pemilu dan Pemilukada kecuali dalam bentuk iklan. Program siaran juga wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan serta peraturan dan kebijakan teknis tentang Pemilu dan atau Pemilukada yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang,” papar Judha, sapaan akrabnya.
Jika berlandaskan aturan di atas, Prof. Judhariksawa menyatakan KPI dapat melakukan pengawasan siaran Pemilu secara optimal mulai sekarang. “Ini menjadi penggugah teman-teman. Saya gelisah karena KPI tidak melakukan tindakan apapun. Karena saya anggap iklan kampanye sudah sangat jelas,” tandasnya.