MAJALAH ICT – Jakarta. Nama Fetty Fajriati sangat akrab di telinga bagi pemirsa televisi khususnya RCTI saat perempuan kelahiran 28 Juni ini menjadi news anchor di stasiun televisi tersebut. Meski posisi tersebut telah ditinggalkannya bertahun-tahun lalu, namun hal itu tidak mengurangi kemampuan Fetty memahami dunia penyiaran secara lebih luas. Perempuan yang meraih gelar sarjana dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta dan Master of Arts dalam bidang Komunikasi dari The University of Leeds, Inggris ini kemudian mendapat amanah untuk mengurusi industri penyiaran dengan menjadi Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat untuk periode 2007-2010.
Setelah dari KPI, kiprah Fetty berlanjut. Mengikuti arus konvergensi yang membuat batas-batas antara penyiaran, IT dan telekomunikasi kian kabur, lewat seleksi ketat, Fetty kemudian terpilih menjadi Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2012-2015. Sama seperti saat di KPI Pusat, di BRTI Fetty juga menjadi satu-satunya perempuan di antara 9 Anggota BRTI.
“Sebagai satu-satunya perempuan di antara delapan laki-laki di BRTI, saya memang harus mendorong diri saya sendiri untuk bisa memahami bisnis telekomunikasi. Sesungguhnya, niatan menjadi anggota KRT-BRTI didasari oleh keinginan untuk bisa menjembatani sektor telekomunikasi dengan sektor penyiaran, mengingat setelah diberlakukannya sistem penyiaran digital. Akan ada Digital dividend yang ditinggalkan oleh peralihan sistem siaran analog ke digital di pita frekuensi 700 MHz. Tetapi ternyata, BRTI benar-benar, purely, mengurusi telekomunikasi,” cerita Fetty.
Karena itu, lanjut Fetty, selama 3 tahun dirinya memacu untuk bisa memahami seluk beluk telekomunikasi seperti interkoneksi, penataan frekuensi, standar layanan telekomunikasi, merger akuisisi, dan banyak lagi. Termasuk juga masalah-masalah hukum yang terjadi di dunia telekomunikasi, seperti kasus IM2, Pailitnya Telkomsel, dan kasus-kasus lain. “Saya sangat mendorong terbentuknya konten dan aplikasi lokal yang bisa menandingi keberadaan OTT global di Indonesia. Saya bermimpi suatu saat konten-konten lokal bisa berjaya di negara kita sendiri dan di negara lain,” kata perempuan kerap menghadiri Konferensi maupun Sidang internasional terkait telekomunikasi, dari tingkat ASEAN hingga ke ITU, lembaga di bawah PBB yang mengurusi telekomunikasi.
Namun, tak terasa, tugas Fetty di BRTI mendekati titik akhir. Pemerintah sudah melakukan seleksi pemilihan anggota baru, dan tak nampak nama Fetty mengikuti seleksi kembali, meski dirinya masih dibolehkan untuk menjadi anggota di lembaga yang mengatur, mengawasi dan mengendalikan industri telekomunikasi tersebut.
“Sejak selesai S-2 dulu, saya ingin melanjutkan studi S-3 saya. Berkumpul dengan banyak Doktor di KRT-BRTI membuat saya semakin ingin mengambil program Doktor di salah satu Universitas ternama di Jakarta meskipun usia sudah di atas 45 tahun. Itu sebabnya saya tidak mencalonkan diri lagi menjadi komisioner BRTI, karena saya sudah tidak sabar untuk kuliah lagi,” terang Fetty mengenai alasannya tidak lagi mencalonkan diri.
Meski tiga tahun di BRTI, Fetty mendapatkan kesan mendalam karena bisa bekerja sama dengan orang-orang yang memiliki kompetensi dan kredibilitas yang baik. “Saya mengagumi dan belajar banyak dari kolega-kolega saya di Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT). Mereka selain piawai dalam bidang masing-masing, juga punya idealisme yang tinggi dalam membenahi sektor telekomunikiasi menjadi sektor yang bertumbuh dengan pesat. Banyak orang yang ingin bergabung di lembaga independen seperti BRTI ini untuk mencari uang, atau pengaruh politik. Tapi selama 3 tahun bergaul dengan sesama kolega di KRT-BRTI, saya melihat teman-teman sesama komisioner bekerja dengan penuh keikhlasan dan tidak mengharapkan apa pun dari operator telekomunikasi. Semoga kesan ini terus melekat di KRT-BRTI periode yang berikut,” ungkapnya.
Meski dirinya tak lagi di BRTI, Fetty berharap BRTI harus tetap ada, terutama wakil dari masyarakat. Pasalnya menurut Fetty, kehadiran BRTI bukan hanya menjadi penyeimbang terhadap Pemerintah, dalam hal ini KemKominfo, tetapi juga menjadi pendorong bagi tumbuh kembangnya Industri Telekomunikasi dan pelindung bagi masyarakat pengguna telekomunikasi.
“Sewaktu, saya dan teman-teman di KRT-BRTI baru menjabat, di Kemkominfo tidak ada yang khusus menangani menara dan retribusi yang diambil oleh Pemda-Pemda di seluruh Indonesia. Sekarang, setelah KRT-BRTI melakukan pendekatan dengan Pemda-Pemda di daerah, isu terkait pemotongan menara, pemungutan retribusi menara menjadi perhatian Pemda. Baru-baru ini Pemkot Yogyakarta mengundang KRT-BRTI untuk duduk bersama membuat Peraturan Walikota Jogyakarta terkait Penataan Menara Telekomunikasi. Ini terobosan yang bagus, dan harus terus berlangsung di masa mendatang,” kenangnya.
Meski begitu, perempuan yang sempat menjadi Manajer Humas di The Habibie Center, memiliki catatan tersendiri dalam hubungannya antara BRTI dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. “Kemkominfo harus lebih memperhatikan keberadaan BRTI. Seharusnya, fasilitas yang didapat oleh komisioner BRTI disamakan dengan Dirjen. Karena Dirjen menjadi Ketua BRTI dan komisioner menjadi anggotanya, jadi levelnya setara dengan Eselon I. Tugas KRT-BRTI itu berat, bukan hanya berhadapan dengan operator tapi juga berhadapan dengan aparat penegak hukum. Jadi, bila untuk menjadi komisioner BRTI, harus menjalani seleksi yang sebegitu ketat dan rumit, maka “reward” yang diberikan pun harus setara dengan kualifikasi yang dituntut kepada para komisioner BRTI,” harapnya.
Menghadapi tantangan konvergensi, Fetty melihat bahwa tantangan Konvergensi yang paling krusial adalah bagaimana mengatur infrastruktur, bisnis, konten dan sistem keamanan bila sektor telekomunikasi, penyiaran, internet bahkan dengan perbankan bergabung. “Kegiatan sektor perbankan akan banyak bersinergi dengan sektor telekomunikasi seperti e-banking, e-commerce, e-procurement dan lainnya,” jelasnya.
Karena itu, Fetty tidak menganjurkan Kominfo untuk gegabah dalam membuat Undang-Undang Konvergensi. “Biarkan UU Telekomunikasi, UU Penyiaran, UU ITE, UU Perbankan berdiri sendiri-sendiri. Tanpa UU Konvergensi, saat ini praktek konvergensi itu sendiri sudah berlangsung kan? Kemkominfo tinggal melihat letak ketimpangan atau “irregularities” yang terjadi dari praktek-praktek konvergensi yang sudah terjadi. Lalu kita pikirkan nilai-nilai apa saja yang harus masuk dalam setiap UU itu (kebetulan saat ini UU Telekomunikasi, UU Penyiaran, dan UU ITE akan direvisi). Pembuatan Kebijakan harus dibuat dengan analisa yang mendalam dan dilandasi visi jauh ke depan, bukan hanya untuk 5 atau 10 tahun saja,” tutur Fetty.
Peran Perempuan
Membicarakan peran Kartini masa kini di era teknologi informasi, Fetty melihat peran perempuan di era teknologi informasi sangat penting. “Kita menyadari bahwa saat ini teknologi informasi sudah menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia. Banyak hal baik yang dapat diperoleh dari penggunaan internet, tapi di lain pihak, ada sisi negatif dari internet yang perlu kita waspadai. Pornografi, perjudian, penipuan, kekerasan dan lain-lain adalah “sisi gelap” dari dunia maya. Saat ini internet bukan hanya digunakan oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak,” urai Ibu dari dua anak lelaki, Rizki dan Rafi ini
Fetty mengkhawatirkan bila “sisi gelap” tersebut dimasuki oleh anak-anak. “Akan seperti apa kualitas mental anak-anak kita saat bertumbuh menjadi dewasa? Disini lah diperlukan peranan perempuan khususnya Ibu sebagai orang tua untuk menuntun anak-anaknya menggunakan smartphones, atau internet dengan cerdas. Ibu yang menjadi pendidik utama, harus memahami bagaimana cara untuk mencegah masuknya pengaruh negatif internet kepada anak-anak. Jika anak dididik untuk menggunakan internet dengan baik, aman dan sehat, maka hal itu akan menjadi benteng bagi anak untuk menghindari akibat buruk dari internet,” ajak istri dari Fetri Miftach ini.
Ditambahkannya, selain untuk anak-anaknya, perempuan juga dapat menggunakan internet untuk pengembangan diri sendiri. Pengguna internet saat ini tidak hanya menggunakan internet untuk sekedar mencari informasi tetapi juga untuk “membuat” informasi. “Dengan meningkatnya perempuan Indonesia yang “melek” Teknologi Informasi, tidak hanya sekedar tahu, maka diharapkan masayrakat kita akan menjadi masyarakat Informasi Indonesia yang dapat memanfaatkan TIK ini untuk mencerdaskan generasi muda dan memberdayakan perempuan itu sendiri. Selain itu, kemahiran perempuan dalam memanfaatkan TIK, akan memberi kesempatan pada perempuan untuk maju dan berperan di banyak bidang di Indonesia,” pungkas perempuan yang memiliki moto hidup, “Hope for the best, Prepare for the worst” .
Tulisan ini dan informasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menarik lainnya dapat dibaca di Majalah ICT terbaru No.33-2015 di sini