MAJALAH ICT – Jakarta. Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan pemerintah pada tanggal 27 Oktober 2016. Dirjen Aplikasi Informatika, Semuel A. Pangerapan, menyampaikan bahwa UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE sudah berlaku sejak diundangkannya pada tahun 2008. Dalam perjalanannya, terdapat banyak masukan dan aspirasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, praktisi, dan masyarakat lainnya.
Proses pelaksanaan revisi UU ITE telah menjawab tuntutan dan aspirasi tersebut, mengingat banyaknya kasus yang terjadi dan banyak pihak yang dilaporkan serta diproses melalui hukum dengan dilakukan penahanan sejak penyidikan. Tuntutan tersebut pada intinya adalah agar tidak terjadi kriminalisasi dari kasus-kasus yang ada dan meminta agar orang yang dituduh tidak serta merta dilakukan penahanan.
Tuntutan dan aspirasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh DPR bersama pemerintah dengan melakukan revisi atas UU ITE dengan skema revisi terbatas, yang maksudnya adalah konsentrasi kepada pasal-pasal tertentu sehingga memberi ruang tidak ada lagi kriminalisasi sebagaimana diaspirasikan. Revisi juga memberi ruang untuk memberikan perlindungan hukum, ekosistem yang berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dijelaskan Semuel, isi dari perubahan dalam Revisi UU ITE Tahun 2008 diantaranya adalah menghindarkan dari serta merta adanya penahanan dengan menurunkan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun terkait dengan perbuatan pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3)).
Dengan aturan baru ini, maka tidak dilakukan penahanan selama proses hukum sampai dengan berkekuatan hukum tetap (inkrah), yang artinya – Memberikan penerapan hukum yang berkeadilan dan berkeseimbangan.
Kemudian, tambahnya, dengan menurunkan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun terkait dengan perbuatan pidana ancaman kekeresan atau menakut-nakuti (Pasal 29). Ini juga tidak dilakukan penahanan selama proses hukum sampai dengan berkekuatan hukum tetap (inkrah) dan memberikan penerapan hukum yang berkeadilan dan berkeseimbangan.
Semua juga menjelaskan mengenai “Right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” dimana adanya kewajiban menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. Ini digunakan untuk merehabilitasi dan pemulihan nama baik dan memberikan prinsip keadilan bagi masyarakat.
Selain itu, ada juga penegasan terhadap apa yang dituntut oleh masyakarat agar pemerintah berperan memberikan perlindungan masyarakat dari konten negatif, dimana pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan begitu, kata Semuel, maka terlindunginya masyarakat dari konten-konten negatif, terjaganya norma dan sendi kehidupan yang mengedepankan nilai dan budaya bangsa dan melindungi kepentingan umum dari segala gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik.
Tak ketinggalan adalah tindak lanjut atas Putusan MK mengenai Tata Cara Intersepsi dimana pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan sebelumnya diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang untuk perlindungan terhadap Hak Asasi Masyarakat dan terselenggaranya tata cara intersepsi yang dilakukan APH dalam melakukan intersepsi berdasarkan kewenangannya.