MAJALAH ICT – Jakarta. Bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), prinsip perlindungan anak adalah hal yang sangat mendasar dalam pengawasan konten siaran di televisi dan radio. Karenanya, jika ada program siaran yang mengeksploitasi anak, melakukan bullying pada anak, maka dapat dipastikan KPI akan tegas memberikan sanksi. Hal ini disampaikan Nuning Rodiyah, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan di kantor KPI dalam pertemuan dengan pengelola program siaran televisi, (20/1).
Selain itu, harus diingat pula, KPI mengedepankan prinsip imparsialitas dalam penjatuhan sanksi. “Sehingga, jika terbukti melanggar ya harus ditindak,” tegas Nuning. Dirinya mencermati, belakangan ini banyak program siaran di televisi yang bersumber dari sesuatu yang sedang viral di media sosial. “Hal ini harus mendapat perhatian khusus untuk diatur,” ujarnya. Agar tidak semata-mata menampilkan yang viral demi menaikkan angka rating. Padahal harus dipahami betul, aturan di televisi dan radio sangat berbeda dengan aturan di media sosial yang sangat longgar dan cenderung tak punya aturan.
Dia mengingatkan, jangan sampai konten-konten viral di media sosial yang cenderung menimbulkan penyakit sosial baru, diamplifikasi oleh televisi ke tengah publik. “Jangan sampai televisi melakukan amplifikasi terhadap konten viral di sosmed yang muatannya mengarah pada munculnya penyakit sosial,” tandasnya. Pada dasarnya menjadikan muatan viral di media sosial sebagai konten televisi kalau memang positif, rasanya baik-baik saja. Maka dari itu, ketika menginisiasi sebuah program siaran, jangan sampai memunculkan persoalan baru. Misalnya, eksploitasi anak, bullying, mandi-mandi lumpur atau pun pukul-pukul panci,” ujarnya. Yang seperti itu seharusnya tidak perlu dimunculkan di televisi, kecuali dalam rangka menjadikan sebuah bahasan tentang fenomena sosial dengan mengundang narasumber yang kompeten.
Pada kesempatan tersebut, turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo dan Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Mimah Susanti. Mulyo berpendapat, mungkin saja televisi mengangkat sesuatu yang viral di media sosial. Norma sosial harus menjadi pertimbangan sebelum dimunculkan. “Apakah punya potensi menimbulkan kegaduhan? Jika iya, maka harus ada pesan dan edukasi kepada publik bahwa ada yang tidak benar dari konten tersebut agar tidak ditiru. Sehingga, konten televisi hadir sebagai pengingat bagi masyarakat, jangan justru membuat muatan siaran yang membenarkan konten-konten negatif,” ujarnya.
Termasuk persoalan konten mandi lumpur yang juga muncul di televisi. “Kalau tidak ada penegasian yang tegas dari televisi dan penjelasan pada publik, ini yang membuat saya yakin kalau anak-anak dan publik secara umum akan semakin bersemangat membuat konten yang nyeleneh, agar dapat duit. Yang penting ditonton sebanyak-banyaknya orang,” tambah Mulyo.
KPI juga menerima penjelasan dari para pengelola program siaran tentang alasan konten-konten viral diangkat di televisi. Nuning berharap, para produser program memiliki sensitivitas yang baik terhadap perlindungan anak dan juga perempuan dalam menjalankan ide-ide kreatif untuk konten televisi. “Yang pasti mereka juga harus paham menempatkan gimmick dalam sebuah program. Jangan sampai eksplotatif dan juga mengesampingkan kepentingan anak, baik yang hadir di televisi ataupun sebagai penonton,”ujar Nuning.
Catatan lain dari Nuning terhadap program siaran yang mengambil konten media sosial adalah persoalan rumah tangga perselingkuhan antara mertua dan menantu yang muncul di televisi, dengan menghadirkan pelaku. Hal-hal seperti ini, menurut Nuning, menunjukkan minimnya sensitivitas pengelola program tentang kewajiban memberikan edukasi kepada publik.